Senin, 27 Oktober 2014

Anda Tak Tau Diri, Bu Susi.




Sekitar 3 pekan lalu seorang pria usia 50an keluar dari kantor sekolah tempat saya bekerja. Matanya berkaca-kaca, raut wajahnya tak tergambar, perpaduan antara sedih, marah dan kecewa. Betapa tidak, untuk kesekian kalinya dia harus memenuhi panggilan dari pihak sekolah karena kelakuan putra tunggalnya. kali ini karena rokok. Ya, siswa kelas 2 SMP dengan santainya membawa rokok ke sekolah, merokok diam-diam di jam istirahat, bahkan mempengaruhi teman-teman nya untuk ikut merokok.

Bisa saya bayangkan berkecamuknya pikiran Sang Bapak. Jangankan beliau, saya yang hanya guru dari putranya saja merasa sangat galau "dimana salah saya?" "apa saya gagal memberi contoh?".

4 tahun menjalani profesi sebagai guru, saya sangat berusaha keras memberi teladan terbaik untuk seluruh murid. Saya sangat hati-hati dalam bertutur kata dan bertingkah laku. Karena saya yakin, mereka akan mencontoh apa yang saya katakan dan lakukan. Boro-boro urusan merokok yang memang sangat merusak, perkara kecil seperti kebiasaan makan minum, film yang layak ditonton, musik yang layak didengar, kebersihan kuku sampai cara berpakaian saja harus dicontohkan. Mereka ini anak-anak polos, seperti kertas putih yang akan terwarnai dengan apapun yang ada disekitar mereka.

Lalu hari ini ada seorang Menteri, pejabat publik negara, perempuan pula, dengan santai nya merokok dihadapan awak media, ditonton oleh jutaan anak Negeri. Dalihnya "beginilah saya". Dia bahkan dengan bangga mengatakan kalau dia bertatto. WHAT THE H*LL!

Saya tak ada urusan dengan kebiasaan dan pola hidup seseorang, itu pilihan dari yang bersangkutan. saya tak peduli dengan berapa batang rokok yang dia habiskan sehari atau berapa banyak tatto yang dia punya. Jika saja dia bukan seorang pejabat negara, jika saja dia tidak melakukannya dihadapan umum, mungkin saya tidak akan sesewot ini.

Apa yang harus saya sampaikan jika besok murid-murid saya bertanya "Menteri saja boleh ngerokok, kenapa kami gak boleh?" atau "Berarti Tatto itu bukan sesuatu yang buruk, buktinya Ibu-Ibu tatto-an aja bisa jadi Menteri"

Jadi maaf, terlepas dari kehebatan bisnis dan perjalanan hidupnya yang mengesankan, saya harus mengatakan bahwa Ibu Susi tak tau diri dan tak tau posisi. Mungkin harus ada yang menyadarkannya bahwa saat ini dia bukan lagi pengusaha ikan di pangandaran melainkan seorang pejabat publik yang tingkah lakunya harus bisa jadi contoh. Tak boleh ada lagi "Beginilah Saya", karena sekarang dia adalah milik Negara.

Kalau tak dirubah, mungkin besok atau lusa, akan semakin banyak orang tua yang harus keluar dari kantor kepala sekolah dengan wajah lesu, karena putra-putrinya ketahuan merokok dengan dalih "Bu Menteri aja ngerokok!".

Tolong, ini tentang masa depan anak Negeri!






Minggu, 26 Oktober 2014

Selamat Bekerja Kabinet Kerja

Formasi Kabinet Kerja Jokowi-JK akhirnya resmi diumumkan. Beragam reaksi yang muncul dari masyarakat. Ada yang puas, ada yang bangga karena tokoh idolanya akhirnya mendapat amanah sebagai menteri, ada yang terheran-heran, bahkan ada yang (mungkin) kecewa.
Terlepas dari semua reaksi di atas, yang menarik bagi saya adalah komentar 'nyinyir' dari sebagian orang yang menganggap banyaknya fitnah yang bertebaran seputar penentuan kabinet ini. Mungkin kita masih ingat, berbagai kekhawatiran yang muncul sebelum kabinet ini resmi dilauncing. Mulai dari kekhawatiran ditunjuknya politisi-politisi liberal sebagai menteri, masuknya jalaludin rahmat dalam formasi, sampai isu akan dihapusnya kementrian agama.

Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut tidak dapat dibendung mengingat arus informasi yang meluap-luap didunia internet. Perkara yang bisa jadi awalnya hanya lintasan pikiran seseorang, seketika bisa berubah menjadi opini publik. Sesuatu yang mulanya hanya hasil analisa segelintir orang, bisa dipercaya oleh ratusan ribu bahkan jutaan manusia setelah disebarkan lewat media internet. Dan harus kita akui, Internet memberikan kita ruang yang tak bisa kita dapatkan melalui media-media mainstream : kebebasan beropini, kesempatan untuk didengar dan peluang untuk mempengaruhi banyak orang tanpa harus terbentur dengan berbagai macam kepentingan.

Kembali ke formasi kabinet, ternyata kekhawatiran-kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Nyatanya kita tidak melihat ada nama Rieke atau Eva Sundari dijajaran kabinet, tak ada Jalaluddin Rahmat si petinggi syiah, kementrian agama pun masih ada dan dipercayakan pada politisi dari partai islam.

Lah, berarti semua isu yang berkembang sebelumnya cuma fitnah?. Tidak juga, karena bisa jadi hal tersebut memang sempat masuk dalam wacana presiden dan wakil presiden terpilih. Mungkin saja nama-nama tersebut memang dipertimbangkan untuk masuk ke jajaran kabinet dan dicoret lantas resistensi yang cukup tinggi ditunjukkan oleh netizen (ingat, mayoritas mereka yang aktif didunia maya adalah kalangan berpendidikan). Tidak munculnya Jalaludin Rahmat atau tetap eksisnya Kementrian Agama, disadari atau tidak, bisa saja karena Presiden kita tidak ingin menimbulkan resistensi tinggi masyarakat kelas menengah pada pemerintahan.

semua berhak bicara. Jangan hanya karena suara netizen sebelumnya berbeda dengan fakta hari ini lantas ada yang mengeneralisir semuanya sebagai fitnah.

However, selamat bekerja Kabinet Kerja. terlepas dari ketidaksukaan saya dengan beberapa pos yang menurut saya tidak diisi oleh orang yang pas (Marwan Ja'far yang pernah terbukti melakukan plagiat atau Puan Maharani yang ujug-ujug jadi Menko misalnya) saya ucapkan selamat mengemban amanah, semoga Tuhan selalu memberi petunjuk. Ingat, 250 juta manusia menggantungkan harapannya pada kalian.

Ps. Terima kasih para netizen yg kemarin-kemarin sangat keras menolak kehadiran aktivis liberal dalam kabinet, menolak Jalaludin Rahmat. Ternyata suara Kalian cukup didengar :D 

Jumat, 17 Oktober 2014

Salim dan Fenomena Anak Bawang




Sahabat mulia ini awalnya hanya seorang budak belian yang dimerdekakan, ia dikenal dengan nama Salim Maula Abu Hudzaifah. Ya, bahkan nama ayahnya pun tak pernah dikenal dalam sejarah. Dia bukan siapa-siapa, sampai akhirnya Allah meninggikan derajatnya dengan Islam. 

Pasca fathu makkah, pasukan kaum muslimin yang dipimpin Khalid bin Walid RA menjalankan misi penyebaran islam ke perkampungan-perkampungan arab dipinggiran kota makkah. Untuk berdakwah, bukan untuk berperang. Namun dalam sebuah ekspedisi, Khalid terpaksa menggunakan senjatanya dan terjadi lah pertumpahan darah. Entah berapa banyak orang yang dia bunuh.
Sewaktu peristiwa ini sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau memohon ampun kepada Allah amat lama sekali sambil berkata: “Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan oleh Khalid … !”

Salim yang ikut dalam misi tersebut, demi melihat perbuatan Khalid, menegurnya dan menjelaskan letak kesalahan-kesalahannya. Khalid bin Waild, bangsawan quraisy, panglima perang yang tak pernah kalah itu di tegur keras oleh seorang mantan budak berkulit hitam. Tak sedikitpun Salim takut menyampaikan kebenaran apalagi bermulut manis karena ia memandang Khalid bukanlah lagi sebagai seorang bangsawan arab dan panglima perang, melainkan sebagai seorang saudara yang wajib ia nasihati.

Sepulang dari misi tersebut, Rasulullah bertanya “adakah yang menyanggah Khalid?”. Alangkah harunya saat para sahabat menjawab “Ada, Salim menegur dan menyanggahnya”

Rasanya tak layak kita membandingkan siapapun dengan Salim Maula Abu Hudzaifah, Sahabat Mulia yang bahkan disebut oleh Rasulullah sebagai satu dari 4 pemikul Al Qur’an. Tapi, alangkah baiknya jika saat ini kita mulai belajar untuk tidak menilai seseorang dengan strata manusia. Bukan dari hartanya, dari keturunannya atau dari jabatannya dalam struktur dakwah. 

Kita harus belajar mendengar kritik dari para mutarobbi, belajar menerima sanggahan dari orang-orang dengan usia idelogis dan biologis jauh lebih muda dari kita tanpa harus menganggapnya sebagai pembangkang. Karena sesungguhnya kita tak pernah tahu, bisa jadi orang-orang tak bernama yang selalu kita anggap sebagai anak bawang, justru mereka lah, yang dengan amalan-amalan kecilnya, memiliki posisi lebih mulia karena disebut berulang-ulang namanya oleh para malaikat dihadapan Allah.

Sabtu, 11 Oktober 2014

Belajar dari Matahari

<align="justify">

Ia adalah pusat dari seluruh kehidupan di tata surya, tanpanya bumi ini gelap gulita, tapi walau merasa besar. ia tidak pernah  lupa untuk terbenam, ia juga tidak pernah ngambek dan menolak untuk terbit dipagi hari walau sehari sebelumnya banyak   manusia menggerutu dan mengutuk suhu panasnya.

Begitulah matahari, salah satu ciptaan sekaligus bukti kebesaran Allah. Namanya  bahkan disebut 42 kali dalam alqur'an.  Ukuran nya berjuta kali ukuran bumi,    panasnya mencapai jutaan derajat celcius. Konon, jika ia sedikit saja lebih dekat dengan bumi, kita semua akan terbakar dan kalau sedikit saja ia lebih jauh, maka    takkan ada kehidupan di planet ini.    subhanAllah.

Mestinya kita belajar dari matahari, walau dengan segala kehebatannya tetap patuh pada Dzat yang menciptakannya. Mestinya kita belajar pada matahari, walau    dengan segala kontribusinya pada bumi,  ia tetap ikhlas meminjamkan cahayanya, memberi kesempatan pada bulan untuk bersinar dan dipuji keindahan nya pada malam hari. Mestinya kita belajar pada matahari, yang tak pernah jenuh menjalankan tugas yang sama terus menerus, terbit dan terbenam sesuai perintah dari Rabb Nya.

Mestinya kita belajar dr matahari