Sahabat mulia ini awalnya hanya seorang budak belian yang
dimerdekakan, ia dikenal dengan nama Salim Maula Abu Hudzaifah. Ya, bahkan nama
ayahnya pun tak pernah dikenal dalam sejarah. Dia bukan siapa-siapa, sampai akhirnya
Allah meninggikan derajatnya dengan Islam.
Pasca fathu makkah, pasukan kaum muslimin yang dipimpin
Khalid bin Walid RA menjalankan misi penyebaran islam ke
perkampungan-perkampungan arab dipinggiran kota makkah. Untuk berdakwah, bukan
untuk berperang. Namun dalam sebuah ekspedisi, Khalid terpaksa menggunakan
senjatanya dan terjadi lah pertumpahan darah. Entah berapa banyak orang yang
dia bunuh.
Sewaktu peristiwa ini sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, beliau memohon ampun kepada Allah amat lama sekali sambil berkata:
“Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan oleh Khalid … !”
Salim yang ikut dalam misi tersebut, demi melihat perbuatan
Khalid, menegurnya dan menjelaskan letak kesalahan-kesalahannya.
Khalid bin Waild, bangsawan quraisy, panglima perang yang tak pernah kalah itu di
tegur keras oleh seorang mantan budak berkulit hitam. Tak sedikitpun Salim
takut menyampaikan kebenaran apalagi bermulut manis karena ia memandang Khalid
bukanlah lagi sebagai seorang bangsawan arab dan panglima perang, melainkan sebagai seorang saudara
yang wajib ia nasihati.
Sepulang dari misi tersebut, Rasulullah bertanya “adakah
yang menyanggah Khalid?”. Alangkah harunya saat para sahabat menjawab “Ada,
Salim menegur dan menyanggahnya”
Rasanya tak layak kita membandingkan siapapun dengan Salim
Maula Abu Hudzaifah, Sahabat Mulia yang bahkan disebut oleh Rasulullah sebagai
satu dari 4 pemikul Al Qur’an. Tapi, alangkah baiknya jika saat ini kita mulai
belajar untuk tidak menilai seseorang dengan strata manusia. Bukan dari
hartanya, dari keturunannya atau dari jabatannya dalam struktur dakwah.
Kita harus belajar mendengar kritik dari para mutarobbi,
belajar menerima sanggahan dari orang-orang dengan usia idelogis dan biologis
jauh lebih muda dari kita tanpa harus menganggapnya sebagai pembangkang. Karena
sesungguhnya kita tak pernah tahu, bisa jadi orang-orang tak bernama yang
selalu kita anggap sebagai anak bawang, justru mereka lah, yang dengan
amalan-amalan kecilnya, memiliki posisi lebih mulia karena disebut
berulang-ulang namanya oleh para malaikat dihadapan Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar